Tentang Menjadi Dewasa (Bagian 2): Matang dan Terhidang

Jika menjadi dewasa ada resepnya, apakah dengan pasti semua orang dapat tumbuh sebagaimana mestinya?

Bagiku, rasanya tidak begitu. Pernah beberapa kali dalam hidupku kucoba memasak sebuah hidangan berdasarkan resep di website acuan para ibu-ibu. Walau sudah kuikuti segala tata cara hingga raut wajah sang koki saat mengolah masakannya, tetap saja, masakanku tak seenak ekspektasiku.

Pernah ku berpikir kalau resepnya itu tipu-tipu. Namun, kata temanku, masakanku yang tidak enak itu ya hasil dari ketidakmampuanku. Kalau dalam langkah di resepnya tertulis “tambahkan bahan XXX secukupnya” dan masakanku gagal, berarti salahnya ada padaku yang tak dapat menakar arti “cukup”.

Bila kamu berpendapat sama sepertiku bahwa resep masakan adalah sebuah hal yang harus pasti takarannya, kita berdua tidak sepenuhnya benar. Beda daerah, beda lidahnya. Daging rendang yang menurutmu sangat lezat, bisa jadi menurutku terlalu pedas sampai buat ku mengumpat.

Namun, karena pendapat kita tadi pun tidak sepenuhnya salah, berarti ada kemungkinan bahwa menjadi dewasa dapat dibuat resepnya. Pertanyaannya, bagaimana caranya? Mari kita coba-coba.

Pertama: tentukan masakan apa yang ingin dimasak dan bagi siapa masakan itu dihidangkan.

Sebagian darimu mungkin akan merasa heran dengan bagian akhir kalimat barusan. Oke lah, sebelumnya kita sepakat kalau selera masakan orang berbeda-beda, sehingga resep masakan itu gak harus saklek takaran bahannya. Tapi, apakah iya dalam konteks pola pikir dan sikap dewasa itu kita harus mempertimbangkan dengan siapa kita akan bertatap muka?

Menurutku sih iya, karena kita hidup di bumi bersama-sama. Hatchi si lebah yang katanya sebatang kara aja tetep aja ada temennya kan? Maka dari itu, tindakan seseorang dapat memengaruhi tindakan orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Bagiku, semakin dewasa seseorang, semakin ia dapat mengerti situasi dan mampu menempatkan diri sesuai kebutuhan. Ini yang kumaksud dengan menakar. Tidak semua situasi harus dipukul rata dengan sikap dewasa kita. Pandai-pandai lah beradaptasi, supaya gak basi.

Kedua: tentukan bahan masakan yang harus digunakan.

Misalnya kamu mau bikin Cah Brokoli, berarti ya harus punya brokoli.

Oh iya, saat menulis poin yang ini, kuberbincang terlebih dulu beberapa manusia yang tingkat dewasanya kurasa sudah senior. Menurut mereka, beberapa bahan yang harus ada dalam menjadi dewasa adalah: tanggung jawab, mandiri, kontrol diri. Ketiga hal itu yang paling menjadi pembeda antara yang anak-anak dan orang dewasa.

1. Tanggung jawab

Tanggung jawab: keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya) (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Kemarin ini, saat sedang di Kulon Progo, kucerita pada Pak Win tentang kegelisahanku dalam merintis project yang kujalani beberapa bulan terakhir. “Berani menulis, harus berani juga melaksanakan dan menyelesaikan,” ujar Pak Win padaku yang beliau tahu bahwa sebagian besar pekerjaanku dulu adalah membuat konsep dan arahan. Pekerjaanku yang itu adalah zona nyamanku. Pelaksanaan dan penyelesaian adalah tantangan terbesarku.

Foto: Waktu pertama ke Kulon Progo, rapat sama Pak Bupati dan jajaran dinasnya. Pak Win itu yang di sebelahku itu loo. Beliau adalah Direktur Perusahaan Umum Daerah Kulon Progo.

Membawa obrolan ini ke konteks yang lebih luas, tidak hanya dalam pekerjaan, tetapi juga dalam berkehidupan, membuat kakiku lemas. Ku tersadar, semua yang kubaca dalam berbagai buku pengembangan diri tidak akan berarti apa-apa jika tidak kucoba sendiri. Paham teori tak akan berarti jika tidak bisa dieksekusi.

Untuk dapat mengeksekusi, butuh rasa tanggung jawab yang seringnya harus kamu emban sendiri, gak bisa dibagi-bagi. Kecuali tanggung jawab untuk menghabiskan makanan yang dipesan, itu sih tak usah diragukan lagi.

Dalam mengemban tanggung jawab, yang paling bikin takut itu apa sih? Kalau hasilnya tidak sesuai dengan keinginan, salah satunya. Dari sana, mungkin tanggung jawabmu akan beranak pinak. Namun, setelah dipikir-pikir, memangnya apa hal terburuk yang dapat terjadi? Apakah tak bisa ditanggulangi?

Salah input data di presentasi penting? Tinggal diklarifikasi dan bilang “revisinya saya siapkan setelah ini”. Dipecat karena salah input data di presentasi penting? Ya, cari kerja lagi. Ditinggal pacar karena kamu dipecat gara-gara salah input data di presentasi penting? Bersyukurlah ditinggalnya sekarang, bukan nanti kalau udah jadi suami-istri (hahaha ku sotoy bet kayak yang ngerti aja).

Seburuk-buruk apapun keadaanmu, selalu ada solusi untuk melaksanakan tanggung jawabmu sebaik-baiknya kok. Tentu, tidak semua caranya itu semudah menggunakan baygon untuk membunuh kecoa di kamar mandi. Ada cara yang lebih sulit, tapi lebih cepat merealisasikannya, seperti memukul kecoa yang bersangkutan pakai sapu lidi.

Dengan rasa tanggung jawab yang tinggi, sesulit apapun hal yang dihadapi, kamu tidak lari. Kamu menetap dan cari solusi. Untuk menyiapkan diri terhadap itu, butuh yang namanya sikap mandiri.

2. Mandiri

Mandiri: Dalam keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung pada orang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Menjadi mandiri tidak berarti kamu harus menolak semua bantuan teman atau ajakan berkolaborasi. Tidak berarti kamu harus melaksanakan segala hal seorang diri.

Inti dari sikap mandiri, berdasarkan yang kupahami dari penuturan orang-orang secara lisan dan tulisan serta kumpulan kejadian dalam kehidupanku hingga detik ini, adalah berkemampuan untuk mengambil keputusan sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Bisa menentukan sendiri apa langkah yang diambil dan menerima konsekuensinya untuk dijalani.

Bayangkan, kamu sedang membuat sebuah program pemberdayaan anak muda. Dalam pelaksanaannya, kamu ingin berkolaborasi dengan berbagai stakeholder, mulai dari komunitas, perusahaan, pemerintah, akademisi, dan media, agar lebih mudah merangkul anak muda sasaranmu. Untuk mencapainya, kamu mencoba menemui pimpinan di tiap stakeholder itu, memaparkan visi dan misimu, lalu berharap mereka mau membantumu. Percayalah padaku, programmu tidak akan ke mana-mana, cuma jadi setumpuk kertas print-an berjudul proposal kerja sama di sudut ruang kerja mereka atau sebuah email di inbox yang tak akan pernah dibalas.

Foto: Pertama kali kami pergi riset ke Kepulauan Kei, Maluku Tenggara, untuk Dayamaya. Di sana, kami bertemu Ma’am Tohatta, guru kesayangan semua siswa!

Kolaborasi yang baik hanya bisa terjadi pada orang-orang (atau organisasi) yang mandiri, yang mampu menjalankan bidang yang ia kuasai sendiri. Sehingga, saat kolaborasi terjadi, yang dicapai adalah hal-hal yang memang skalanya lebih besar, tidak hanya sekadar menambal sulam hal-hal yang dasar.

Hal yang terpenting dari penguasaan sikap mandiri, kamu akan terlatih untuk dapat membebaskan diri dari lilitan ekspektasi, yaitu hal-hal yang kamu harapkan untuk terjadi walau mustahil sama sekali. Karena sebagian besar sumber kekecewaan adalah hal-hal yang di luar kendali, jangan bebankan ekspektasi pada orang lain, kecuali pada dirimu sendiri.

Fokuslah pada apa yang bisa kamu kontrol dan kuasai, yaitu dirimu sendiri.

3. Kontrol diri

Kontrol diri: kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif (Golfried dan Merbaum, 1973).

“The one thing you can’t take away from me is the way I choose to respond to what you do to me. The last of one’s freedoms is to choose one’s attitude in any given circumstance.” 

― Viktor E. Frankl

Dalam keadaan terpuruk sekalipun, saat kamu merasa kehilangan segalanya, sesungguhnya satu hal yang kamu dapat selalu miliki, yaitu kontrol diri. Bagaimana kamu merespon sebuah keadaan akan menentukan mendefinisikan kamu yang sesungguhnya.

Yakinlah bahwa semua keadaan yang kamu alami adalah hal terbaik yang memang harus kamu hadapi. Selalu ada pelajaran di sana, untuk membuatmu lebih mengenal diri. Hingga akhirnya, kamu dapat mengendalikan diri lebih baik.

Foto: Pada pertengahan ramadan ini, saya beruntung sekali berkesempatan buka puasa bertiga dengan mereka, Mas Sonny dan Pak Semmy. Mereka itu jagoannya di Kemkominfo deh (ini opiniku ya). Awalnya, kukenal keduanya saat kuterlibat dalam program Gerakan Nasional 1000 Startup Digital.

Menurut Pak Semmy, dewasa adalah state of mind. Terlepas dari berapapun usiamu, jika kamu dapat mengontrol diri, baik pikiran maupun tindakan, kamu sudah dewasa. Lebih tepatnya, bersikap dewasa.

Menjadi tua itu pasti. Namun, menjadi dewasa itu pilihan. Pilihan yang terdiri atas berbagai usaha yang melibatkan rasa tanggung jawab, sikap mandiri, dan kemampuan mengontrol diri.

Gitu kira-kira bahan masakan yang dibutuhkan untuk konteks menjadi dewasa. Kalau kamu ada tambahan lain, kasi tau di kolom komentar yaa!

Ketiga: tentukan bumbu lain dan takarannya sendiri. Sehingga masakanmu gak hanya enak, tetapi juga khas!

Sebelum ini kan telah kusampaikan di poin pertama, kalau orang yang dewasa itu dapat menempatkan diri sesuai kebutuhan. Nah, ini tingkat selanjutnya dari itu. Menempatkan diri sesuai keinginan! Untuk menguasai ini, tentunya kamu harus menguasai tingkat yang sebelumnya dulu ya. Dengan begitu, kamu yang telah memahami batasan-batasan dari apa tindakan atau sikap yang akan kamu ambil akan tahu sejauh apa kamu bisa berimprovisasi!

Contoh dari tokoh yang kamu mungkin kenal yang menurutku autentik adalah Ibu Tri Rismaharini, walikota Surabaya saat ini. Nah, kalau tokoh yang kamu nggak kenal tapi menurutku autentik adalah mamaku yang besok berulang tahun! Keduanya menginspirasi dari bentuk tindakannya. Memang ya, action speaks louder than words. Tapi buat yang gak peka dengan sekadar tindakan, harus dikata-katain sih. Eh, maksudnya, dijelasin. Tindakan X itu maksudnya supaya Y loo, nduk.

Dalam memasak, sejauh kesotoyanku, sentuhan personal yang membuat masakan menjadi autentik adalah nilai tambah. Karena, bagi beberapa orang, enak saja tidak cukup bikin ia ingin ia balik lagi ke restoran tersebut. Makanan yang ia makan harus meninggalkan kesan yang signifikan.

Walau demikian, tetap saja, masakan yang sesuai adalah masakan yang dihabiskan saat dihidangkan. Jadilah dewasa dengan sewajarnya. Itu sudah cukup bagi sebagian besar orang.

Terakhir: latihan, latihan, dan latihan!

Selalu ada tantangan yang berbeda setiap harinya. Semakin beragam situasi yang kamu hadapi, semakin mudah bagimu untuk menghasilkan racikan yang tepat.

Maka, bersyukurlah jika kamu saat ini dipertemukan dengan asam garam kehidupan. Jadinya nggak hambar to?

***

Begitu kira-kira, teman-temanku, olahan pemikiranku tentang resep menjadi dewasa. Lebih dan kurangnya, silakan ditambahkan sendiri sesuai preferensi masing-masing. Yang penting, masing-masing dari kita dapat menyajikan versi terbaik diri kita pada orang-orang di sekitar, baik yang kamu sayangi, maupun yang kamu usahakan untuk sayangi.

Bagi yang mau menambahkan, sekali lagi, sangat kutunggu di kolom komentar!

6 thoughts on “Tentang Menjadi Dewasa (Bagian 2): Matang dan Terhidang

  1. Setuju sama yang disampaikan Dhila di post ini.

    Tentang dewasa itu artinya ‘peka’ terhadap lingkungan sekitar. Bisa membaca situasi dan mengambil sikap yang paling tepat di situasi tersebut.

    Yang disayangkan, bisa jadi, yang belum satu frekuensi dengan Dhila belum dapat paham seutuhnya dengan yang Dhila sampaikan..

    Karena, menurutku, kedewasaan itu sendiri gak bisa dapat dari baca artikel atau teori. Kedewasaan harus didapat dari pengalaman, antara mengalami sendiri atau dengan diskusi dengan yang sudah pernah mengalami..

    Aku yakin, begitu juga dengan Dhila mendapatkan insight tentang kedewasaan ini bukan dari buku. Tapi dari bertemu dan mendengar cerita dari banyak orang yang berbeda.

    Liked by 2 people

    1. Berarti, nanti asyiknya itu berbagi pengalaman bareng tentang hal-hal yang bikin belajar banyak untuk menjadi dewasa yaa! Belajar memahami pengalaman orang lain dengan put ourselves in others’ shoes. Tentuu, yang paling impactful tuh ya pengalaman sendiri. Ibarat main game, berbagi pengalaman itu kayak mendalami game dengan walkthrough gitu yaa hahaha

      Like

  2. Wahh, pertama dari segi tulisan serta desain sangat inspiratif sekali.

    Untuk isinya saya sangat setuju sekali, tanggung jawab, melatih kemandirian yang lebih kuat adalah salah satu cara untuk terus lebih menjadikan sifat diri yang lebih baik.

    Thanks a lot kak dhila.

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.